• Jum. Nov 28th, 2025

Rekom Pembongkaran Dari UPTD PAPRJJ Wilayah VII Dinilai Mengorbankan Warga

Cirebon.swaradesaku.com. Rencana pembongkaran bangunan di kawasan BJ5 Kiri yang berada di wilayah Desa Karangasem, Kecamatan Karangwareng, Kabupaten Cirebon, kini memunculkan banyak pertanyaan dari masyarakat. Warga menilai proses penertiban yang sebelumnya digadang-gadang sebagai penataan wilayah justru sarat kejanggalan, minim sosialisasi, serta mengesankan upaya yang tergesa-gesa dan tidak transparan.

Fakta terbaru mengungkap bahwa surat rekomendasi pembongkaran diajukan oleh UPTD Pengelolaan Air, Penataan Ruang, Jalan dan Jembatan (PAPRJJ) Wilayah VII, kemudian diteruskan kepada Satpol PP Kabupaten Cirebon untuk pelaksanaan penertiban. Namun, rangkaian proses tersebut tidak pernah disampaikan secara resmi kepada warga terdampak, baik mengenai batas lokasi, dasar regulasi, hingga alasan teknis terbitnya rekomendasi.

Akibatnya, sebagian warga mengaku terkejut ketika mendengar kabar pembongkaran, karena tidak pernah menerima pemberitahuan sebelumnya.

Pada tanggal 24 November 2025, Satpol PP Kabupaten Cirebon mengadakan rapat koordinasi bersama perangkat daerah terkait untuk membahas rencana penertiban bangunan di BJ5 Kiri Karangasem. Namun yang menjadi sorotan adalah tidak diundangnya warga yang terdampak langsung, sehingga keputusan yang diambil dinilai sepihak dan tidak melibatkan pihak yang paling berkepentingan.

Beberapa tokoh masyarakat menyebut rapat tersebut hanya memperkuat dugaan bahwa proses penertiban sudah dikunci sejak awal tanpa ruang klarifikasi dari warga.

“Bagaimana bisa membahas nasib masyarakat tanpa masyarakat?” keluh seorang warga yang namanya enggan disebut.
“Seharusnya pemerintah hadir untuk melindungi, bukan memutuskan di belakang kami,” tambahnya.

Indikasi Ketidakjelasan: Dimana Dasar Hukumnya?

Salah satu sorotan utama dalam kasus ini adalah ketiadaan informasi resmi terkait:
batas lahan yang dinyatakan bermasalah,
kajian teknis penyebab bangunan harus dibongkar,
regulasi yang digunakan sebagai dasar rekomendasi UPTD,
serta tidak adanya pemberitahuan tertulis kepada warga sebelum tindakan penertiban diproses.

Beberapa warga mengaku hanya mendengar kabar rekomendasi pembongkaran secara lisan dari aparat, tanpa penjelasan administratif apa pun.

Pakar tata ruang daerah menilai bahwa langkah tersebut sangat riskan, mengingat penertiban bangunan wajib dilakukan melalui mekanisme yang jelas dan melibatkan masyarakat sejak tahap awal.

Kasus BJ5 Kiri Karangasem menjadi contoh nyata bagaimana sebuah kebijakan publik dapat menimbulkan polemik ketika transparansi tidak dijalankan. Dalam prinsip pelayanan publik, setiap rencana pembongkaran atau penertiban bangunan harus memenuhi beberapa aspek :

  1. Sosialisasi kepada warga terdampak.
  2. Penjelasan tertulis mengenai dasar hukum, batas wilayah, dan alasan pembongkaran.
  3. Kesempatan bagi warga untuk memberikan keberatan atau klarifikasi.
  4. Dokumentasi dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
  5. Pendampingan pemerintah agar warga tidak merasa dikorbankan atau diinjak haknya.

Ketidakhadiran warga dalam rapat 24 November 2025 mempertegas adanya proses yang berjalan tidak proporsional. Warga seolah dianggap objek, bukan subjek kebijakan.

Jika benar rekomendasi pembongkaran diajukan tanpa verifikasi lapangan yang komprehensif dan tanpa pemberitahuan resmi, maka hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan aturan di Kabupaten Cirebon.

Sebagai lembaga teknis, UPTD PAPRJJ seharusnya memberi penjelasan terbuka terkait :

apa alasan teknis bangunan dianggap melanggar,
bagaimana batas wilayah ditentukan,
serta mengapa warga tidak diajak duduk bersama sebelum rekomendasi diterbitkan.

Keterbukaan seperti itu bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral pemerintah kepada masyarakat.

Harapan Warga: Penyelesaian yang Adil, Bukan Pembongkaran Sepihak

Warga BJ5 Kiri Karangasem berharap pemerintah kabupaten Cirebon tidak terburu-buru mengeksekusi pembongkaran sebelum memberikan penjelasan yang dapat diterima publik.

Penertiban bukan sekadar membongkar bangunan, melainkan memastikan keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan bagi masyarakat, terutama mereka yang selama ini hidup dalam kondisi terbatas.

Kasus ini kini menjadi sorotan, dan masyarakat menunggu langkah tegas pemerintah kabupaten untuk membuka proses secara transparan, agar keadilan tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar dirasakan oleh warga.

( Ade Falah )