Bogor.swaradesaku.com. Budidaya Sorgum : Antisipasi Krisis Pangan Akibat Krisis Iklim” ialah tema kegiatan yang dilaksanakan pada hari Minggu, 21 Mei 2023 sebagai kolaborasi GUSDURian Bogor, Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar dan Koperasi Gerak Nusantara. Rangkaian kegiatan dimulai pukul 9 pagi dengan tanam sorgum di lahan yang telah dipersiapkan sebelumnya milik Pesantren Misykat di Setu Burung, dilakukan oleh 17 orang yang 10 di antaranya ialah santri/santriwati Misykat. Acara kedua ialah nonton bersama tayangan video 28 menit, dilanjutkan dengan kuis Kahoot yang menguji pemahaman para penonton terhadap tayangan video. Sesi ishoma tak lepas dari misi edukasi sesuai tema, dengan penyediaan nasi sorgum selain campuran nasi beras dan jagung. Sebelumnya, aneka pangan sumber karhohidrat juga disajikan sejak awal seperti ubi, singkong, kacang, pisang. Acara terakhir ialah diskusi yang diikuti oleh 23 orang, dimoderasi oleh Fahmi Syaifudin, dengan resume singkat berikut ini.
Roy Murtadho – biasa disapa Gus Roy – sebagai pengasuh Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar menjelaskan istilah “krisis iklim” yang lebih tepat dipakai ketimbang “perubahan iklim” karena keadaan iklim yang terus makin buruk akibat aktivitas ekonomi manusia yang berlatar kepentingan kapitalisme. Industrialisasi pangan besar-besaran telah menghabisi keberagaman hayati yang padahal diperlukan untuk menjaga keseimbangan alam. Demikian pula keberagaman keyakinan diperlukan untuk menjaga keseimbangan, klaim-klaim kebenaran tunggal tidak sejalan dengan ekologi. Gus Roy berharap agar forum ini bisa menjadi awal kerjasama berkelanjutan antar berbagai pihak dengan tujuan baik bersama, yang kelak akan berdampak langsung pada warga sekitarnya terutama para petani yang telah bekerja dalam kelompok, dan secara turun temurun punya keahlian dan kebiasaan bertani.
Friska dari Koperasi Gerak Nusantara Bogor Raya, menjelaskan poin-poin dalam SDG’s Desa yang mestinya bisa terintegrasi dalam kegiatan produksi pangan di desa yang melibatkan banyak pihak, yaitu Poin 1 (Desa Tanpa Kemiskinan), Poin 2 (Desa Tanpa Kelaparan), Poin 3 (Desa Sehat dan Sejahtera), Poin 17 (Kemitraan untuk Pembangunan Desa). Ada UU Desa yang mengatur keberadaan Bumdes tapi kenyataannya tidak berjalan. Hal itu yang menjadi motif dibentuknya koperasi yang akan membantu menata kegiatan ekonomi warga desa mulai dari produksi hingga ke paska produksi dan pemasarannya. Koperasi ini bersifat dari-oleh-untuk anggota dan berusaha melibatkan segenap komponen masyarakat marjinal yang selama ini kurang dilibatkan dalam kegiatan pembangunan dan pengambilan keputusan di desa, seperti kelompok lanjut usia, disabilitas, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.

Sartono dan Hasnan dari Millah Abraham (eks Gafatar) menceritakan kisah saat komunitasnya berniat memberikan kontribusi bagi bangsa ini melalui program ketahanan pangan dengan hijrah (dari berbagai tempat di Indonesia) ke Kalimantan untuk membuka lahan perkebunan. Mereka berhasil membuktikan bahwa lahan gambut yang amat luas di sana dapat dipakai untuk budidaya sejumlah komoditi, karena adanya topsoil di bawah lapisan tebal gambut. Komunitas ini meyakini program ketahanan pangan sebagai sebuah keniscayaan dan kepercayaan terhadap nubuatan. Yaitu bahwa krisis pangan telah mengancam di depan mata berdasarkan pembacaan keadaan (iqra) dari situasi dunia saat ini, berdasarkan sejarah yang akan selalu berulang sebagaimana tertulis dalam buku-buku suci agama-agama.
Ponco dari Ahlul Bait Indonesia – Bogor, menjelaskan bahwa anggota komunitasnya mayoritas pedagang dan tidak/belum ada program khusus yang mengarah ke pertanian, namun mendukung kegiatan semacam ini yang bertujuan untuk membawa manfaat bagi masyarakat. Diketahuinya bahwa program semacam ini termasuk demplot sorgum, sudah ada di beberapa tempat, namun gagal kontinyu dan tidak sempat mencapai hasil yang semula diharapkan. Padahal biasanya kepada para petani, awalnya diberikan harapan tertentu termasuk nilai rupiah yang kelak akan didapat. Perlu diteliti lagi faktor-faktor penyebab kegagalan upaya pemberdayaan petani ini, mulai dari faktor teknis produksi dan manajemen yang melingkupinya, sedapat mungkin diperjelas skema dan standar operasionalnya. Termasuk soal koperasi yang bersifat dari-oleh-untuk anggota, yang mestinya bisa menggantikan peran tengkulak yang posisi tawarnya tidak berimbang terhadap petani.
Yudi (Jemaat Ahmadiyah Sindangbarang) menjelaskan bahwa bidang pertanian ialah salahsatu bidang kegiatan yang ada di komunitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Ahmadiyah mempercayai bahwa masa ini memang sudah masuk ke akhir zaman yang sesuai nubuatan, ditandai dengan meluasnya kerusakan di daratan dan lautan oleh ulah tangan-tangan manusia sendiri. Karena itu umat manusia harus kembali kepada ajaran-ajaran suci agama-agama yang mengajarkan nilai-nilai keadilan, keseimbangan, penuhi hak-hak Tuhan dan makhluknya termasuk alam. Selain kembali kepada ajaran suci sebagai bentuk iman, pelaksanaannya dalam bentuk amal soleh juga mutlak diperlukan karena kedua hal itu (iman dan amal soleh) merupakan hal yang amat berkaitan, termasuk implementasinya dalam isu-isu yang sedang dibahas bersama dalam forum.
Rukmana (Koperasi Gerak Nusantara Bogor Raya) menjelaskan kearifan budaya lokal dalam pemeliharaan alam yang telah dipraktekkan antara lain oleh Kasepuhan Ciptagelar, suku Baduy, suku Dayak. Bahwa komunitas umat beragama kalah hebat oleh mereka ini karena budaya aslinya yang telah terkikis oleh budaya luar sehingga kehilangan kemampuan untuk menjaga alam. Meski begitu, spirit kearifan lokal sebenarnya masih ada jejaknya di masyarakat, itu pun minim bimbingan dan dukungan dari aparat pemerintah. Karena itulah juga dibutuhkan peran dari jaringan masyarakat sipil seperti yang tergabung dalam forum ini, agar dapat bekerjasama saling memberdayakan diri. Tidak perlu mengkonversi lahan yang sudah ada/produktif pun, masih banyak lahan tidur yang mestinya bisa digunakan untuk bertanam sorgum yang produksinya kelak ditampung oleh koperasi. Prakteknya memang tidak sederhana karena melibatkan banyak pihak dan aspek, sehingga butuh pemikiran dan kerjasama banyak pihak.
Siti Barokah (Pengelola Misykat) berbagi keresahan tentang masalah nyata yang dialami masyarakat, yang sambil didalami sebagai mahasiswi paska sarjana bidang sosiologi pedesaan di IPB. Mulai dari sumber air minum yang tercemar dan tak memadainya regulasi soal limbah, makin sedikitnya orang yang mau bertani karena tata niaganya yang tidak berpihak, soal stunting, prioritas belanja keluarga yang harus dipikir ulang. Krisis iklim yang mengancam kehidupan manusia di semua lingkup dan tingkatan dengan dampak utama pada wanita dan anak-anak saat para prianya makin sulit mencari kehidupan dari budidaya yang berhubungan dengan sumberdaya alam, lalu pergi merantau dan meninggalkan keluarga. Tentang pangan alternatif, di Misykat sudah dibiasakan makan pagi non-nasi, dan hal itu amat sulit pada awalnya. Bu Oka mengajak jaringan masyarakat sipil untuk terus mendesak dan mengawal Pemerintah agar mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis berdampak dalam menghadapi krisis iklim yang mengancam krisis pangan ini.
Daisy, aktivis sosial yang lulusan S3 Bidang Biomedical Engineering, menjelaskan bahwa dari sudut pandang gizi tak ada bahan pangan yang sempurna untuk penuhi kebutuhan manusia, sehingga asupan makan itu harus beragam dan seimbang. Sorgum tidak harus dipaksakan ditanam di suatu wilayah dengan kemungkinan bahwa pemetaan wilayahnya tidak cocok untuk itu. Tujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi petani bisa jadi menurunkan ketahanan pangan jika komoditinya diganti. Banyak bentuk teknik budidaya kombinasi tanaman pangan sebagai kearifan lokal masyarakat adat di berbagai penjuru dunia, dari bangsa Indian hingga berbagai pelosok Jawa, yang telah terkikis karena masifnya program pemerintah dengan standar bakunya. Praktek ini perlu dihidupkan lagi dengan kesesuaian kondisi masing-masing, dengan disiplin pengamatan dan pencatatan menghadapi kondisi baru perubahan iklim.
Harry Suharlan (tokoh masyarakat di Rancabungur, beretnis Tionghoa, beragama Konghucu) senada dengan Daisy, tentang pentingnya kegiatan pemetaan potensi wilayah, yang pada prakteknya sering terbentur dengan ego sektoral antar dinas pemerintah itu sendiri, pula seringkali dengan kepentingan swasta pemodal besar. Pergerakan individu atau minoritas, meski pun berdasarkan kepentingan publik hampir selalu kalah oleh suara mayoritas, karena itu masyarakat sipil harus terus memperluas jejaring dan meningkatkan kerjasama untuk mencapai kekuatan dan pengaruh yang diperlukan. Momen pencalegan saat ini juga dapat digunakan untuk konsolidasi pergerakan, berharap bahwa caleg-caleg yang sekarang sedang diproses kelayakannya, bisa lebih amanah dalam perjuangkan kepentingan masyarakat. Dengan pemetaan wilayah yang baik, setuju bahwa tiap wilayah akan punya potensi pengembangan tanaman pangan yang khas yang cocok dengan kondisinya.
Asadullah (Patembayan Jawa Dipa) menekankan pentingnya pemberdayaan intelegensi individu melalui pendidikan. Mencontohkan komunitas adat Baduy dan Ciptagelar yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang membuktikan keserasian hubungannya dengan alam, maka individu-individu lain di negara ini juga selayaknya diedukasi untuk meningkatkan intelegensinya agar bersikap lebih layak terhadap alam, terutama tanah yang merupakan “ibu kandung”-nya. Istilah “Pancasila sungsang” diajukan sebagai ajakan kepada segenap anggota masyarakat sipil agar memprioritaskan kerja-kerja untuk mencapai “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang diproses melalui “musyawarah” untuk mencapai “persatuan” yang kelak akan meningkatkan nilai-nilai dan kerja-kerja “kemanusiaan” itu sendiri, yang akan meningkatkan pemahaman “ketuhanan”nya.

M. Rizal Aris sebagai penanggung jawab rutinan Gerakan 17-an GUSDURian Bogor – yang langsung merapat ke lokasi acara sepulang dari acara workshop pemuka agama di Bandung – menghaturkan syukur dan terima kasih kepada tuan rumah Keluarga Besar Pesantren Misykat Al-Anwar, Koperasi Gerak Nusantara Bogor Raya, dan rekan-rekan aktivis masyarakat sipil yang hadir, dan mengharapkan adanya tindak lanjut yang berdampak manfaat nyata bagi masyarakat.
(Notulensi oleh Buce)