Cirebon.swaradesaku.com. Sejumlah Perangkat Desa Mertapadawetan, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, mengeluhkan belum diterimanya hak tunjangan atau tanah bengkok sejak tahun 2024 hingga memasuki tahun 2025. Hingga kini, hak tersebut disebut belum juga direalisasikan oleh Pemerintah Desa setempat.
Keluhan itu, menurut para perangkat desa, telah berulang kali disampaikan langsung kepada Kuwu Mertapadawetan, Moh. Munif AR. Namun sayangnya, setiap kali dipertanyakan, mereka mengaku hanya menerima janji tanpa kepastian waktu realisasi, ( Rabu,24 /12 ).
Kekecewaan perangkat desa semakin memuncak lantaran hak yang semestinya mereka terima seolah dikesampingkan tanpa adanya penjelasan yang jelas dan terbuka. Padahal, berdasarkan informasi yang beredar di internal desa, tanah bengkok tersebut telah disewakan kepada pihak ketiga, bahkan sebagian di antaranya sudah dibayar sejak tahun 2024 hingga 2026, dan ada pula yang disebut telah dibayar sampai tahun 2027.
Salah seorang perangkat desa yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan, persoalan ini bukan hal baru dan telah diketahui oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
“Kami sudah sering meminta kepada Kuwu agar tunjangan bengkok segera diberikan, tapi sampai sekarang belum juga terealisasi. BPD juga mengetahui persoalan ini, bahkan beberapa waktu lalu Kuwu sudah diingatkan oleh BPD agar segera menyelesaikan masalah bengkok atau tunjangan perangkat desa,” ujarnya, yang dibenarkan oleh perangkat desa lainnya.
Perangkat desa lainnya menambahkan, sejak awal masa kepemimpinan Kuwu Munif pada periode 2024–2025, belum pernah dilakukan lelang resmi terkait sewa tanah bengkok. Selain itu, mereka juga menilai belum adanya Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur tata kelola Pendapatan Asli Desa (PADes).
“Sepengetahuan kami, lelang belum pernah dilaksanakan. Sampai sekarang juga belum ada Perdes yang mengatur pengelolaan PADes. Kami jadi bingung, bagaimana PADes bisa dikelola sementara aturan dasarnya saja tidak ada,” jelasnya.
Berdasarkan keterangan beberapa perangkat desa lainnya, yang juga meminta identitasnya dirahasiakan, pada tanggal 22 November 2025, BPD Mertapadawetan telah memanggil Kuwu beserta perangkat desa dalam sebuah forum resmi. Salah satu agenda utama pertemuan tersebut adalah mempertanyakan pengelolaan keuangan PADes.
Namun demikian, dalam pertemuan tersebut, Kuwu Mertapadawetan disebut menyampaikan keterangan bahwa sebagian besar dana PADes, yang nilainya disebut mencapai sekitar Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah), telah diberikan kepada pihak kepolisian, dalam hal ini Polresta Cirebon.
Pernyataan tersebut sontak menimbulkan tanda tanya besar di kalangan perangkat desa dan BPD. Hingga kini, belum ada penjelasan rinci mengenai peruntukan dana tersebut maupun dasar hukumnya.
Oleh karena itu, para pihak berharap instansi berwenang dapat melakukan klarifikasi dan pemeriksaan secara menyeluruh guna memastikan kebenaran informasi tersebut, sekaligus menjawab kegelisahan publik agar tidak menimbulkan spekulasi yang berlarut-larut.
Komentar Panjang
Persoalan tunjangan bengkok dan pengelolaan PADes di Desa Mertapadawetan sejatinya bukan sekadar masalah administratif, melainkan menyangkut prinsip dasar tata kelola pemerintahan desa yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Tanah bengkok merupakan hak perangkat desa yang dijamin dalam regulasi, sehingga penundaannya tanpa alasan yang jelas berpotensi melanggar asas keadilan dan menimbulkan konflik internal pemerintahan desa.
Ketiadaan lelang resmi serta belum adanya Perdes tentang pengelolaan PADes patut menjadi perhatian serius. Dalam sistem pemerintahan desa, setiap pengelolaan aset dan pendapatan desa seharusnya memiliki dasar hukum yang jelas agar tidak menimbulkan multitafsir dan dugaan penyimpangan. Transparansi bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga amanat undang-undang.
Terkait pernyataan mengenai penggunaan dana PADes yang disebut-sebut diberikan kepada pihak kepolisian, hal tersebut perlu diluruskan secara objektif dan terbuka oleh instansi terkait. Klarifikasi sangat penting agar tidak berkembang menjadi isu liar yang berpotensi merugikan banyak pihak, baik pemerintah desa maupun lembaga lain yang disebut.
Masyarakat dan perangkat desa pada dasarnya tidak menginginkan polemik berkepanjangan. Yang mereka harapkan adalah keterbukaan, kejelasan, serta penyelesaian yang adil dan sesuai aturan. Oleh karena itu, peran BPD, Inspektorat, hingga aparat pengawas lainnya sangat dibutuhkan untuk memastikan tata kelola pemerintahan desa berjalan sesuai koridor hukum, demi menjaga kepercayaan publik dan stabilitas sosial di Desa Mertapadawetan.
( Ade Falah )
