• Sen. Sep 15th, 2025

Cirebon.swaradesaku.com. Seorang warga Desa Wangkelang, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, menyampaikan kekecewaannya terhadap tindakan Pemerintah Desa (Pemdes) yang membongkar warung miliknya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Pembongkaran tersebut terjadi pada Senin (8/9/2025), di Blok Pahing.

Karnengsih, pemilik warung yang menjadi korban pembongkaran, mengungkapkan bahwa bangunan tersebut telah ia dirikan sejak akhir 2018 dan menjadi sumber penghasilan utama keluarganya. “Sebelum dibongkar tidak ada pemberitahuan sama sekali, supaya kita juga bisa siap-siap. Tanah itu dulunya jurang, saya urug sendiri habis sekitar Rp3 juta, belum termasuk bangunan. Soal izin, saya juga sudah izin ke pihak desa. Tapi tiba-tiba dibongkar tanpa pemberitahuan,” ungkapnya dengan nada kecewa.

Warung sederhana tersebut digunakan Karnengsih untuk berjualan batagor, sarapan, serta makanan ringan lainnya. Sejak warungnya dibongkar, ia mengaku kehilangan mata pencaharian. “Sekarang paling kerja seadanya. Saya cuma minta ganti rugi, tapi pihak desa tidak menanggapi,” tuturnya.

Dari informasi yang dihimpun, lahan tempat berdirinya warung tersebut merupakan aset milik pengairan (PSDA) dan saat ini direncanakan akan dibangun posyandu oleh pemerintah desa.

Namun, tokoh masyarakat setempat, Didin, menyayangkan tindakan sepihak Pemdes Wangkelang yang dinilainya tidak memiliki rasa kemanusiaan terhadap warganya sendiri. “Warung itu dibangun pakai uang pribadi. Warga hanya minta ganti rugi Rp2,5 juta. Masa pihak desa tidak bisa mengganti? Ini bukan soal legalitas tanah saja, tapi soal empati dan komunikasi,” ujar Didin.

Dikonfirmasi terpisah, Kuwu (Kepala Desa) Wangkelang, Sakid, membenarkan bahwa tanah tersebut merupakan milik negara dan penggunaannya untuk fasilitas umum dinilai sah secara hukum. “Itu tanah milik negara, rencananya mau dibangun posyandu. Kalau warga merasa keberatan, saya siap fasilitasi ke Camat atau Bupati,” kata Sakid.

Namun, ketika ditanya mengenai ketiadaan papan informasi proyek di lokasi, Sakid berdalih bahwa papan proyek sudah tersedia. Hal ini bertolak belakang dengan pengamatan warga yang menyebut tidak menemukan papan proyek sama sekali di area tersebut.

Ketidakhadiran papan informasi proyek dan tidak adanya sosialisasi atau pemberitahuan pembongkaran kepada warga, menjadi sorotan publik. Apalagi, dalam setiap proses relokasi atau pembangunan fasilitas umum yang menyentuh aset warga, pemerintah desa semestinya menjalankan prinsip musyawarah, transparansi, dan kompensasi yang layak.

Kejadian ini kembali menjadi pengingat pentingnya komunikasi dua arah antara pemerintah desa dan warganya, agar tidak menimbulkan rasa ketidakadilan dan potensi konflik sosial di kemudian hari.
Pemerintah desa diharapkan dapat menjelaskan secara terbuka perihal prosedur pembongkaran, perizinan, dan rencana pembangunan di atas tanah negara. Transparansi dan dialog adalah kunci dalam menjaga kepercayaan publik.

( Ade Falah )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *