• Rab. Okt 15th, 2025

Dari Cigombong ke Forum Regional: Moch Aldy MA Terpilih di Majelis Sastra Asia Tenggara 2025

Bogor.swaradesaku.com. Seorang penyair muda asal Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Moch Aldy MA, kembali menorehkan prestasi di kancah sastra regional. Pada tahun 2025, ia terpilih sebagai salah satu peserta Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) yang akan diselenggarakan di Jakarta.

Melalui karya-karyanya yang menyingkap tema-tema personal seperti trauma lintas generasi dan relasi keluarga dalam konteks budaya Asia, Aldy menghadirkan refleksi mendalam tentang warisan pengasuhan dan maskulinitas.

“Puisi bagi saya bukan sekadar susunan kata, melainkan cara menguji warisan. Dari ayah, saya mewarisi lengang; dari ibu, jarak yang panjang. Barangkali itulah wajah pengasuhan Asia,” ujar Aldy kepada media.

MASTERA 2025: Forum Sastra Regional yang Menghubungkan Suara Asia Tenggara
Didirikan pada tahun 1997, MASTERA merupakan wadah kerja sama sastra regional yang diinisiasi oleh Indonesia bersama Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand. Forum ini bertujuan mempertemukan para penulis, penyair, dan cendekia sastra dari Asia Tenggara untuk berdialog lintas negara dan bahasa.

Memasuki tahun ke-28 penyelenggaraannya, MASTERA 2025 digelar di Jakarta pada 1–5 September dengan fokus pada genre puisi. Tahun ini, sebanyak 22 peserta terpilih mengikuti program tersebut, terdiri atas 18 peserta dari Indonesia, dua dari Brunei Darussalam, dan dua dari Malaysia.

Forum ini dibimbing oleh sejumlah tokoh sastra lintas negara, di antaranya Encik Zainal Bin Palit (Malaysia), Mohd. Noor Sham (Brunei Darussalam), serta Nenden Lilis Aisyah, Cecep Syamsul Hari, dan Agus R. Sarjono (Indonesia). Sementara itu, Sutardji Calzoum Bachri—Presiden Penyair Indonesia yang dikenal sebagai “raja mantra”—hadir sebagai penceramah utama.

Menafsir Ulang Rumah dan Maskulinitas dalam Puisi
Dalam forum MASTERA, Aldy mempresentasikan sepuluh puisi yang merekam lanskap emosional sekaligus kultural mengenai keluarga, pengasuhan, dan identitas laki-laki Asia. Karyanya menggugat pandangan konvensional tentang rumah dan kasih sayang, memperlihatkan bagaimana jarak emosional sering kali diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Puisi-puisi Aldy menampilkan rumah bukan sebagai tempat yang damai, melainkan sebagai ruang yang sunyi dan penuh jarak. Dalam salah satu puisinya, ia menulis:

sayang tak ada anak, yang mampu menyibak / mengapa jarak lebih panjang dan lebih lengang ketimbang waktu.

Melalui metafora “akar”, Aldy menyingkap kasih sayang yang tersembunyi—hadir namun sulit dijangkau. Ia juga menggugat konstruksi maskulinitas tradisional melalui puisi lain yang mempertanyakan bagaimana budaya menanamkan “racun” dalam tubuh para lelaki, yakni nilai-nilai yang mengekang ekspresi emosi dan kelembutan.

“Siapa yang menaruh racun di tubuh para lelaki? Siapa yang menggambar batas-batas, ini jantan dan itu perempuan?” tulisnya dalam salah satu puisi.

Kiprah dan Konsistensi dalam Dunia Sastra
Selain menulis, Moch Aldy MA aktif mengembangkan ruang literasi melalui Gudang Perspektif, sebuah forum diskusi lintas disiplin di Cigombong. Ia juga berperan sebagai editor fiksi di Omong-Omong Media serta editor buku di OM Institute.

Karya-karyanya telah dipublikasikan di berbagai media nasional dan pernah ditampilkan dalam Festival Seni dan Sastra Bogor Creative Center. Aldy juga terlibat sebagai juri dalam Festival of Arts & Sports di Universitas Indonesia.

Keterpilihannya di MASTERA 2025 menjadi kelanjutan dari dedikasinya dalam memperluas ruang dialog sastra, baik melalui tulisan maupun aktivitas kultural.

Suara dari Cigombong untuk Asia Tenggara
Keikutsertaan Moch Aldy MA dalam MASTERA 2025 menandai pertemuan antara pengalaman lokal dan wacana regional. Dari ruang kecil di Cigombong, puisinya kini bergema dalam forum sastra Asia Tenggara, berdampingan dengan karya para penyair dari Brunei Darussalam dan Malaysia.

“Saya dibesarkan bukan untuk mendengar kata, melainkan membaca tanda. Dari keduanya saya belajar, bahwa kasih sayang kerap hadir dalam bentuk isyarat samar,” pungkasnya.

Dengan tema “Puisi sebagai Bahasa Bersama”, MASTERA 2025 tidak hanya menjadi ajang literer, tetapi juga ruang pertemuan antarbangsa, tempat suara-suara muda seperti Aldy menemukan resonansi baru dalam lanskap sastra Asia Tenggara.

(Dede Royani)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *