Bogor.swaradesaku.com.
Mengunyah sirih pinang merupakan salah satu tradisi yang kerap kita jumpai. Saat ini, aktivitas yang biasa disebut dengan nyirih atau nginang ini identik dengan “kebiasaan orang tua”, walaupun pada faktualnya, kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleh orang tua saja namun juga generasi muda. Nilai yang terkandung dalam tradisi ini terus direproduksi dan diajarkan ke generasi berikutnya, mulai dari nilai-nilai religius, sosial, rekreasi, hingga kesehatan.
Mendapatkan sirih,pinang dan kapur ,Dua anak muda NTT dari Kabupaten Belu yang merantau kebali ,Odalia Lopez dan Lia begitu hikmat mengkonsumsi Sirih,Pinang dan Kapur.mereka mengaku, rasa sirih pinang dari kampungnya berbeda dari yang mereka rasakan di wilayah lain.(02/10/2024)
Tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi ini masih sangat relevan bagi berbagai kebudayaan di Indonesia atas alasan yang beragam.
Melalui metode literature review, terdapat beberapa temuan yang cukup menarik. Peneliti menemukan hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa mengonsumsi sirih pinang memiliki dampak positif maupun negatif bagi aspek sosiokultural maupun biologis manusia. Sisi positifnya, konsumsi sirih pinang mampu mengurangi terbentuknya karies dalam gigi, mengurangi pembengkakan dan demam, serta memperkuat gigi. Hal ini karena daun sirih dan biji pinang mengandung senyawa antibakteri, antidepresan, antifungal, antioksidan, antialergi, antidiabetes, dan antiparasit. Secara sosial, tradisi mengunyah sirih pinang juga terus memegang peran penting bagi keberlangsungan kearifan lokal di berbagai kebudayan di Indonesia.
Meskipun demikian, beberapa literatur juga melaporkan berbagai dampak negatif dari konsumsi sirih pinang terhadap kesehatan gigi dan mulut. Gangguan yang muncul dapat ditemukan tidak hanya di gigi, tetapi juga di tulang rahang, lidah, rongga mulut, dan gusi. Penyakit yang paling umum muncul sebagai akibat dari menginang antara lain kalkulus, periodontitis, atrisi, gigi tanggal, dan staining (pewarnaan). Penelitian Hsiao pada tahun 2015 membuktikan bahwa meskipun menginang mampu mengurangi risiko karies, kalkulus yang ditinggalkan akibat menginang berpotensi mengotori dan menumpuk di gigi, sehingga risiko penyakit gusi dan gigi pun meningkat. Mendukung hasil penelitian sebelumnya, penelitian Ritonga et al. (2019) berakhir pada simpulan bahwa dampak negatif dari menginang dipengaruhi oleh semakin banyak bahan yang digunakan, semakin lama waktu menginang, dan seberapa sering seseorang menginang per hari. Mengetahui variabel tersebut, berbagai skema penanganan dan pengabdian dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari tradisi menginang, tanpa harus menghapuskan kekayaan, praktik, dan signifikansi kulturalnya.
Filosofi Sirih pinang adalah tentang rasa hormat. Sebagai sopan santun budaya dan penghargaan kepada sesama, bahwa mereka memiliki kedudukan yang sama, baik tamu maupun pribumi. Sirih pinang menjadi simbol bahwa kehadiran mereka diterima dengan hati yang tulus dan terbuka.
Kaitanya dengan pinang, ada sebuah tradisi yang berasal dari bahasa daerah Tetun yang artinya “Suguhan Sirih Pinang.” Tradisi ini telah diturunkan sejak zaman nenek moyang dalam tradisi adat Kabupaten Belu ,
dan hingga kini masih dipertahankan sebagai warisan budaya yang berharga.
(Asep)