Cirebon.swaradesaku.com. Kisruh Pemerintahan Desa Ciledug Tengah, Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, kian memanas. Sejumlah warga mendatangi Balai Desa Ciledug Tengah untuk menyampaikan tuntutan agar Kuwu setempat mengundurkan diri dari jabatannya, Kamis (18/12/2025).
Kedatangan warga berlangsung tanpa aksi orasi maupun unjuk rasa. Massa langsung diterima oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bersama unsur Muspika untuk melakukan dialog terbuka. Dalam dialog tersebut, mencuat berbagai tuntutan dan keluhan masyarakat, salah satunya desakan agar Kuwu mundur dari jabatannya akibat banyaknya dugaan penyelewengan anggaran Desa yang dinilai belum mendapatkan kejelasan.
Salah seorang perwakilan warga, Endang, mengatakan bahwa kedatangan masyarakat ke balai Desa bertujuan untuk meminta penjelasan langsung dari Kuwu terkait berbagai persoalan Desa yang hingga kini belum terselesaikan. Di antaranya pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSSa) tahun anggaran 2024 dengan nilai anggaran sekitar Rp130 juta yang hingga kini belum rampung, serta Bantuan Provinsi (Banprov) Jawa Barat tahun 2025 yang belum juga direalisasikan.
“Informasi yang kami terima, dana Banprov itu sudah ada dan sudah diserahkan kepada Kuwu, namun sampai sekarang belum ada realisasi di lapangan,” ujar Endang.
Ia menegaskan, berbagai persoalan tersebut telah menumpuk dan menimbulkan kekecewaan mendalam di tengah masyarakat. Oleh karena itu, warga meminta Kuwu bersikap legowo dan mengundurkan diri dari jabatannya.
“Kami memberi batas waktu sampai akhir tahun ini. Jika tidak ada itikad baik dan kejelasan, kami akan melaporkan persoalan ini kepada aparat penegak hukum,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua BPD Ciledug Tengah, Nurwahid, menyampaikan bahwa reaksi warga merupakan bentuk kepedulian dan kecintaan masyarakat terhadap desanya agar tata kelola pemerintahan berjalan lebih maksimal dan berpihak pada kesejahteraan warga.
“Kami sudah dua kali melayangkan pemanggilan kepada Kuwu untuk hadir dan menjelaskan permasalahan yang ada. Namun hingga saat ini yang bersangkutan tidak kunjung hadir,” ungkap Nurwahid.
Ia menambahkan, sebagai lembaga pengawas di tingkat Desa, BPD memiliki kewajiban menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya Pemerintahan Desa. Apabila hingga pemanggilan ketiga Kuwu tetap tidak hadir, pihaknya akan melaporkan hal tersebut kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) serta Inspektorat Kabupaten Cirebon.
“Jika tiga kali pemanggilan tidak diindahkan, kami akan membawa persoalan ini ke DPMD dan Inspektorat untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku,” tegasnya.
Di sisi lain, seorang perangkat Desa yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa persoalan internal di Desa Ciledug Tengah sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Namun, perangkat desa merasa berada dalam posisi sulit untuk bersuara.
“Kalau kami mengingatkan Kuwu, jawabannya selalu sama, silakan Anda mengundurkan diri dan keluar dari kantor Desa,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti persoalan hak kompensasi perangkat Desa dari hasil pengelolaan tanah bengkok. Menurutnya, selama ini perangkat desa baru menerima Rp3 juta per tahun, padahal seharusnya setiap perangkat Desa berhak menerima sekitar Rp10 juta per tahun. Bahkan, disebutkan ada salah satu perangkat Desa yang sama sekali belum menerima hak tersebut.
Kisruh yang terjadi di Desa Ciledug Tengah mencerminkan rapuhnya tata kelola Pemerintahan Desa ketika transparansi dan komunikasi tidak berjalan dengan baik. Desakan warga agar Kuwu mengundurkan diri bukanlah persoalan sepele, melainkan puncak dari akumulasi kekecewaan atas berbagai program dan anggaran desa yang dinilai tidak jelas realisasinya.
Dugaan mandeknya pembangunan TPSSa, belum direalisasikannya Banprov, serta persoalan pengelolaan tanah bengkok menunjukkan adanya masalah serius dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran Desa. Jika benar dana telah tersedia namun tidak direalisasikan sesuai peruntukan, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum.
Ketidakhadiran Kuwu dalam forum dialog dan pemanggilan resmi BPD semakin memperkeruh suasana. Dalam sistem Pemerintahan Desa, Kuwu seharusnya menjadi figur yang terbuka, siap dikritik, dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Ketika Kepala Desa justru menghindari dialog, kepercayaan publik akan semakin tergerus.
BPD sebagai lembaga pengawas telah mengambil langkah prosedural dengan melakukan pemanggilan dan menyatakan akan melaporkan ke DPMD serta Inspektorat. Langkah ini patut diapresiasi, namun masyarakat tentu berharap tindak lanjut tersebut benar-benar dilakukan secara serius dan transparan, bukan sekadar formalitas administratif.
Kasus Pemdes Ciledug Tengah ini menjadi peringatan bagi Kuwu atau Kepala Desa bahwa era kepemimpinan tertutup dan anti-kritik telah berakhir. Masyarakat kini semakin sadar akan haknya untuk mengawasi penggunaan dana publik. Jika ruang dialog ditutup, maka tekanan sosial dan jalur hukum akan menjadi pilihan terakhir warga.
Kini, publik menanti langkah nyata: apakah Kuwu akan hadir, memberikan klarifikasi, dan memperbaiki tata kelola Pemerintahan Desa, atau justru polemik ini akan berlanjut ke ranah hukum. Yang jelas, kepercayaan masyarakat tidak bisa dibangun dengan diam, melainkan dengan keterbukaan, tanggung jawab, dan keberanian menghadapi persoalan secara jujur.
( Ade Falah )
