Bogor.swaradesaku.com. Saat wartawan melakukan kontrol sosial terkait pembangunan jalan yang sedang di kerjakan dan merupakan program dari Desa Cijeruk, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, dengan menggunakan anggaran Bantuan Keuangan (Bankeu) dari Pemkab Bogor.
Belum sempat menanyakan terkait pengerjaan proyek tersebut,salah satu TPK yang bernama Asep menghampiri awak media lalu mengatakan kalau anggaran pengerjaan pembangunan belum diambil, tanpa menjelaskan proyek apa yang sedang di kerjakan, kemudian TPK tersebut meminta nomor dana awak media dan berjanji akan mengirimkan uang, setelah itu awak media kemudian pergi meninggalkan lokasi proyek tersebut.
Keesokan harinya oknum TPK tersebut mengirim kan uang sebesar Rp 100.000 ribu rupiah,ke nomor dana adik dari wartawan tersebut, kemudian wartawan mempertanyakan buat apa uang seratus ribu yang dikirim kan tersebut dan meminta kembali nomor rekening TPK untuk mengembalikan uang yang di kirim kan.
Saat akan di kembalikan Asep oknum TPK mengatakan dirinya sedang sibuk dan menolak uang yang sudah dikirim melalui rekening dana untuk di kembalikan dan menyuruh wartawan untuk bersabar karena dirinya lagi sibuk.
Setelah komunikasi dengan asep Ketua TPK, tiba-tiba oknum wartawan mendapat kan telepon dari adik nya Kepala Desa yang bernama ude, dengan nada yang cukup tinggi dan terkesan arogan dirinya mengatakan : ” maksudnya naon kang, amuk-amukan KA pak Asep, hargai atuch kang saya Kepala Desa teh lanceuk saya ayena hayang na kumaha kang? Sok we ketemu Jeung saya sherlok we,akang duaan saya nyalira iye “.
Ude juga mengatakan kalau Asep TPK mengkondisikan satu pintu untuk media, sekarang anggaran Desa dari mana ada hak media kalau bukan ada kebijakan dari Kepala Desa tidak ada transfer kepada media, sekarang media datang meminta – minta ke Desa.karena saya mendapatkan informasi dari pak Asep kalau akang marah-marah dan sudah termasuk premanisme.sekarang kita ketemu aja kang, dimana aja hayu silahkan di sherlok saja. saya sedikit pun tidak takut kepada wartawan kang.
Merasa tidak terima dengan fitnah dan tuduhan meminta sejumlah uang dengan marah-marah dari oknum TPK dan ancaman serta tantangan dari adik Kepala Desa Cijeruk, awak media tersebut kemudian menerima tantangan untuk pertemuan dari adik Kepala Desa Cijeruk, setelah di hubungi melalui pesan singkat WhatsApp tidak di balas dan telepon pun tidak di jawab.
Apabila fitnah dan tuduhan tersebut tidak bisa di pertanggung jawabkan, maka wartawan yang di fitnah serta mendapat ancaman tersebut akan membawa permasalahan ini ke jalur hukum dengan tuntutan fitnah dan pencemaran nama baik.
Ucapan kontroversial dalam Bahasa Sunda tersebut adalah : maksudnya naon kang, amuk-amukan KA pak Asep, hargai atuch kang saya Kepala Desa teh lanceuk saya ayena hayang na kumaha kang? Sok we ketemu Jeung saya sherlok we,akang duaan saya nyalira iye “.
Ucapan yang menantang awak media tersebut dapat menciptakan tembok konflik
Pernyataan ini bukan sekadar luapan emosi sesaat. Dalam konteksnya, ucapan ini dinilai sebagai ujaran kebencian yang menargetkan profesi jurnalis dan berpotensi memicu ketegangan serta konflik terbuka antara kalangan pers dengan oknum di lingkungan Desa/kegiatan tersebut. Ucapan ini mengisyaratkan adanya upaya untuk membungkam kritik atau menghindari pengawasan kerja-kerja publik.
A.Yusup selaku Ketua Umum MCBR (Media Center Bogor Raya), menegaskan bahwa tindakan meremehkan profesi jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Pers.
“Pernyataan adik Kepala Desa Cijeruk adalah bentuk arogansi yang sangat mencederai profesionalisme pers dan merusak etika komunikasi publik,” tegas Yusup “Kami dari MCBR mengecam keras setiap upaya pelecehan atau intimidasi terhadap kerja-kerja jurnalistik. Pers adalah pilar keempat demokrasi dan tugas kami dilindungi Undang-Undang, bukan untuk ditantang atau diancam oleh oknum manapun, ia pun berharap kepada Aparat Penegak Hukum (APH) agar segera menangkap pelaku ujaran kebencian tersebut.”
Kecaman serupa datang dari Asosiasi Jurnalis Nusantara Indonesia (AJNI) DPW Jawa Barat.
Muhamad Wahidin, Ketua AJNI DPW Jawa Barat, mengutuk keras ucapan tersebut dan menegaskan bahwa tindakan menghalangi kerja jurnalistik adalah perbuatan pidana yang diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Oknum ini patut diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum yang melanggar Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (3) UU Pers, yang menjamin kemerdekaan pers dan hak mencari informasi, ujar Wahidin dengan nada tinggi.
“Setiap kalimat yang mengintimidasi pers adalah upaya nyata untuk membungkam kebenaran. Kami ingatkan, sanksi pidana telah menanti sesuai Pasal 18 Ayat (1) UU Pers, dengan ancaman kurungan 2 tahun atau denda Rp 500 Juta. Kami membuat laporan kepolisian untuk mengusut tuntas insiden ujaran kebencian profesi ini!” tambahnya.
Ancaman Pidana dan Pelecehan Konstitusi Pers
Redaksi Pusat juga menyoroti serius insiden ini. Jurnalis bekerja berdasarkan etika dan, yang lebih penting, mandat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pernyataan yang secara implisit berupaya menghalangi atau mengintimidasi kerja jurnalistik dapat dijerat Pasal 18 ayat (1) UU Pers. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).”
Ucapan ini secara nyata mencederai kemerdekaan pers yang dijamin Pasal 4 ayat (1) dan hak pers untuk mencari serta menyebarluaskan informasi (Pasal 4 ayat 3).
(Red)
