Bogor.swaradesaku.com. Lembaga dan elemen masyarakat yang tergabung dalam gerakan kontrol sosial Kabupaten Bogor menyampaikan kritik tajam terhadap proses pembangunan dan rehabilitasi Masjid Baitul Faizin, yang merupakan ikon religius Kabupaten Bogor.
Sebagai jamaah dan warga yang peduli terhadap transparansi publik, kami menilai pembangunan ini menyimpan banyak kejanggalan yang perlu diklarifikasi secara terbuka oleh Pemerintah Daerah.
Menurut keterangan salah satu jamaah Masjid Baitul Faizin yang juga pemerhati sosial, pembangunan masjid tersebut sejak awal tidak menunjukkan adanya transparansi anggaran, sumber dana, maupun item pekerjaan yang dilakukan.
“Kami sebagai umat Islam dan jamaah Baitul Faizin mempertanyakan, apakah pembangunan masjid ini murni kehendak masyarakat atau sekadar proyek kekuasaan? Karena sejak awal tidak pernah ada publikasi resmi tentang nilai anggaran, sumber dana, hingga rincian pekerjaan,” ujarnya.
Lebih lanjut dijelaskan, upaya konfirmasi yang dilakukan kepada Kepala Bidang Jasa Konstruksi Dinas PUPR Kabupaten Bogor, Bambang Winarko, maupun pihak terkait lainnya tidak pernah mendapat respons yang jelas.
Padahal, proyek pembangunan fasilitas publik, terlebih rumah ibadah sebesar dan seikonik Masjid Baitul Faizin, seharusnya dikelola secara transparan, akuntabel, dan terbuka kepada publik.
“Kami sudah berulang kali mencoba mencari informasi langsung, tapi selalu buntu. Tidak ada papan proyek, tidak ada informasi nilai anggaran, tidak ada kejelasan pelaksana, dan tidak ada tanda-tanda serah terima resmi dari pemerintah kepada DKM. Ini sangat janggal,” tegasnya.
Fakta bahwa tidak pernah ada plang proyek di area pembangunan menimbulkan pertanyaan serius:
apakah pembangunan tersebut menggunakan dana publik (APBD), atau justru bersumber dari dana di luar mekanisme resmi pemerintah?
“Kalau benar menggunakan dana APBD, maka itu wajib dipublikasikan kepada masyarakat. Karena uang itu berasal dari pajak rakyat. Dan kalau bukan dari APBD, maka publik juga berhak tahu dari mana sumber dananya. Jangan sampai pembangunan masjid justru kehilangan ruh kejujuran dan keterbukaannya,” tambahnya.
Gerakan kontrol sosial menilai, ketertutupan informasi publik seperti ini merupakan bentuk kemunduran dalam tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Lebih jauh, kondisi ini mencederai nilai-nilai spiritual umat Islam yang menjunjung tinggi kejujuran, amanah, dan keterbukaan dalam setiap amal pembangunan, apalagi untuk rumah ibadah.
“Transparansi itu bukan sekadar administratif, tapi kewajiban moral dan agama — bahkan bisa dikatakan fardhu ‘ain. Karena masjid bukan hanya bangunan, tapi simbol iman dan kepercayaan umat. Kalau pembangunannya saja tidak jujur dan terbuka, bagaimana keberkahannya bisa hadir?” pungkasnya.
Gerakan kontrol sosial mendesak Pemerintah Kabupaten Bogor, khususnya Dinas PUPR dan pengelola Masjid Baitul Faizin, untuk segera memberikan klarifikasi resmi dan membuka dokumen proyek kepada publik sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Keterbukaan ini penting agar tidak menimbulkan kecurigaan, spekulasi, atau prasangka negatif terhadap pihak-pihak yang terlibat.
Pembangunan masjid seharusnya menjadi simbol kemuliaan, bukan sumber pertanyaan dan kegelapan informasi.
(Red)
