Cirebon.swaradesaku.com. Sejumlah aktivis dan tokoh pergerakan di wilayah Cirebon Timur menyuarakan kekecewaan dan kemarahan mereka terhadap kualitas pembangunan infrastruktur yang dinilai dikerjakan secara asal-asalan. Sudarto SH, salah satu tokoh pergerakan Cirebon Timur, menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam jika kejanggalan-kejanggalan proyek tersebut dibiarkan tanpa pertanggungjawaban.

Menurut Sudarto, berbagai anggaran yang diturunkan dari pemerintah pusat, provinsi, hingga daerah seharusnya dikelola secara profesional, transparan, dan sesuai mekanisme hukum demi menghasilkan pembangunan yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. “Jangan main-main dengan anggaran negara. Kami mengecam keras kontraktor yang membangun secara asal-asalan di wilayah Cirebon Timur. Jika tidak ada perbaikan dan penjelasan, kami siap melaporkan seluruh temuannya kepada Kejaksaan Negeri Sumber, Kejati, Kejagung, hingga Mabes Polri,” tegas Sudarto SH.
Jembatan 13,8 Miliar Ambruk Setelah 3 Bulan
Salah satu proyek yang menjadi sorotan adalah pembangunan jembatan penghubung antara Kecamatan Pabedilan (Cirebon) dan Kabupaten Brebes, dengan anggaran mencapai Rp 13,8 miliar. Ironisnya, jembatan yang seharusnya menjadi jalur strategis masyarakat itu baru diresmikan sekitar tiga bulan lalu, namun kini sudah ambruk dan tidak dapat digunakan.
Kondisi tersebut menimbulkan dugaan kuat adanya penyimpangan dalam pelaksanaan pembangunan. “Harapan masyarakat itu sederhana: jembatan yang kokoh dan kuat sesuai besarnya anggaran yang digelontorkan. Tapi baru tiga bulan sudah ambruk. Dugaan kami sangat kuat bahwa ada penyalahgunaan anggaran oleh pihak kontraktor atau perusahaan pemenang tender,” tambah Sudarto.
Aktivis Siap Buat Laporan Resmi
Tiga aktivis, yakni Sudarto SH, A. Fauzan Tz SH MH, dan Qorib SH MH, menegaskan bahwa mereka akan segera membuat Laporan Polisi (LP). Langkah ini ditempuh sebagai bentuk keseriusan dan upaya memberi efek jera kepada kontraktor-kontraktor yang dinilai tidak bertanggung jawab dan berpotensi merugikan keuangan negara serta masyarakat.
Runtuhnya jembatan bernilai miliaran rupiah dalam waktu yang sangat singkat menjadi tamparan keras bagi dunia konstruksi dan pengawasan pembangunan di Cirebon Timur. Publik wajar mempertanyakan bagaimana proses teknis pembangunan dilakukan, siapa saja pihak yang melakukan pengawasan, dan apakah material serta metode konstruksi telah sesuai standar.
Kasus ini juga memperlihatkan bahwa pembangunan yang seharusnya menjadi solusi, justru berubah menjadi beban baru bagi masyarakat. Jembatan yang ambruk bukan hanya merusak aset negara, tetapi juga mengganggu aktivitas harian masyarakat, merugikan ekonomi warga, dan mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah maupun kontraktor.
Dalam konteks anggaran daerah, setiap rupiah yang dikeluarkan berasal dari uang rakyat. Oleh karena itu, kualitas pembangunan harus menjadi prioritas utama. Jika proyek bernilai besar gagal dalam hitungan bulan, maka pasti ada persoalan dalam prosesnya, baik karena lemahnya pengawasan, penggunaan material tidak sesuai standar, hingga kemungkinan adanya praktik korupsi yang berdampak langsung pada mutu bangunan.
Aktivis Cirebon Timur dengan tegas menyuarakan kritik sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi masyarakat. Jika memang terdapat pelanggaran, laporan hukum tidak hanya menjadi langkah reaktif, tetapi juga bentuk kontrol sosial agar seluruh pihak—kontraktor, pejabat pengawas, hingga pelaksana teknis—tidak bermain-main dengan anggaran negara.

Kasus jembatan ambruk ini seharusnya menjadi momentum untuk melakukan evaluasi besar-besaran terhadap proyek infrastruktur di wilayah Cirebon Timur. Transparansi tender, audit teknis, pemeriksaan material, hingga penegakan hukum harus dilakukan secara terbuka agar masyarakat tidak kembali menjadi korban pembangunan gagal.
(Ade Falah)
