• Sel. Agu 12th, 2025

Cirebon.swaradesaku.com. Pemerintah Desa Bendungan, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, dituding mengkomersialkan tanah kas Desa dengan skema kavling. Sesuai dengan regulasi yang berlaku, tanah Desa seharusnya dikelola untuk kepentingan bersama, bukan dikapling dan dijual layaknya lahan milik pribadi.

Luas lahan yang diduga dikavlingkan mencapai 3 hingga 4 hektare, dengan masing-masing kavling berukuran 10 bata atau setara 140 meter persegi. Sejumlah warga bahkan sudah membayar uang muka (DP) dengan nominal bervariasi, mulai dari Rp2 juta hingga Rp3 juta.

Kasus ini mencuat setelah Presidium Obor Cirebon Timur (Cirtim), yang dipimpin oleh Yosu Subardi, menerima laporan dari masyarakat yang merasa janggal dengan mekanisme pengelolaan tanah desa di wilayah tersebut. “Awalnya kami mendapatkan laporan dari masyarakat yang mengadukan ke saya. Saya lanjutkan untuk melakukan investigasi di lapangan, dan kami juga membahas ini di internal presidium Obor Cirtim,” ujar Yosu kepada wartawan, Jumat (8/8/2025).

Menurutnya, hasil penelusuran di lapangan menguatkan adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan tanah desa. Obor Cirtim mengklaim telah mengantongi bukti penting, seperti dokumen kepemilikan tanah yang menunjukkan bahwa lahan tersebut adalah milik desa (tanah kas desa), berita acara musyawarah desa yang menunjuk panitia pengelola, serta keterangan dari warga yang telah mengajukan permohonan dan memberikan DP.

“Jika kita melihat formulirnya, seolah-olah ini adalah pembelian, tetapi dikemas dengan istilah sewa. Padahal, yang namanya kavling itu tidak logis jika disebut sewa,” ungkap Yosu, menilai praktik tersebut sebagai bentuk pembelokan regulasi.

Ia juga menegaskan, jika pengelolaan tanah tersebut benar-benar bersifat sewa, maka harus ada kejelasan mengenai pengelolaan uang sewa; apakah akan dimasukkan ke kas desa, badan usaha milik desa (BUMDes), atau pihak lain. “Pembentukan panitia seharusnya bukan hanya hasil musyawarah desa (musdes), tetapi perlu SK resmi. Selain itu, alur pengelolaan uang perlu jelas. Namun, praktik ini tampaknya tidak ada, dan masyarakat disinyalir akan diarahkan untuk mendapatkan hak seperti sertifikat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Yosu menyoroti adanya praktik serupa di lokasi dekat SPBU Desa Bendungan. Di sana, satu blok lahan Desa seluas sekitar 2 hektare telah dibangun rumah oleh warga, tetapi hanya diberikan SPPT, bukan sertifikat resmi. Hal ini menunjukkan bahwa warga hanya diakui sebagai penyewa atau penggarap, bukan sebagai pemilik lahan yang sah.

“SPPT masih terdaftar atas nama warga / titisara desa. Meskipun warga telah mengeluarkan biaya besar untuk membangun rumah, mereka tetap tidak mendapatkan hak kepemilikan yang jelas. Ini menjadi pola yang diduga akan terulang,” kata Yosu dengan nada prihatin.

Presidium Obor Cirtim menegaskan bahwa tanah kas desa bukan untuk dijual secara individu. Jika tanah tersebut ingin diubah peruntukannya, harus melalui mekanisme tukar guling, atau paling tidak, alih fungsi lahan yang disetujui oleh dinas terkait. Namun, di Desa Bendungan, semua proses itu dinilai diabaikan.

“Peraturan Bupati (perbup) 100 tahun 2016, pasal 13 ayat 6 menjelaskan bahwa pemanfaatan kekayaan desa berupa tanah desa yang dilakukan dengan cara sewa tidak diperbolehkan untuk mengubah penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian. Tanah desa tidak boleh disewakan atau diubah fungsi tanpa prosedur yang sah. Di sini, seluruh proses formal diabaikan,” tegas Yosu.

Dugaan pelanggaran hukum ini, menurut Yosu, bukan hanya masalah administrasi, tetapi juga bisa berujung pada pelanggaran hukum yang lebih serius serta potensi kerugian bagi negara. “Jika terus berlanjut seperti ini, ini bukan hanya mal-administrasi, tetapi sudah memasuki ranah dugaan perbuatan melawan hukum. Masyarakat bisa dirugikan, dan negara berpotensi kehilangan aset,” ujarnya.

Sebagai bentuk tanggung jawab, Presidium Obor Cirtim menyatakan akan memberikan hak jawab kepada pihak Pemerintah Desa Bendungan. “Kami akan bersurat resmi atau datang langsung ke kantor desa. Kami menghormati hak jawab dari pemerintah desa,” sebut Yosu.

Namun, jika tidak ada kejelasan atau jika temuan tersebut semakin menguatkan dugaan, pihaknya akan membawa kasus ini ke Kejaksaan Negeri Cirebon. “Fakta-fakta dan dokumen yang kami miliki cukup untuk melapor. Insya Allah, kami akan menempuh jalur hukum demi menjaga aset desa dan melindungi masyarakat dari praktik-praktik merugikan,” pungkasnya.

(Ade Falah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *