• Ming. Nov 9th, 2025

Cirebon.swaradesaku.com. Muncul isu menarik sekaligus mengundang tanda tanya besar terkait riwayat tanah milik Pemerintah Daerah (Pemda) yang kini dikelola oleh UPTD Balai Benih Pertanian di wilayah Kabupaten Cirebon.

Menurut keterangan tokoh masyarakat setempat, Wanto, tanah yang kini diklaim sebagai aset Pemda itu pada mulanya merupakan tanah milik lima desa, yakni Desa Blender, Sumurkondang, Kubangdeleg, Sesupan, dan Karangwareng. Tanah tersebut, menurutnya, hanya dipinjamkan kepada pihak UPTD Balai Benih untuk kepentingan perbenihan dan pengembangan pertanian daerah.

“Dulu tanah itu dipinjamkan, bukan diberikan. Bahkan saat awal pengelolaan, Balai Benih masih memberikan bagi hasil kepada pihak desa dari hasil bumi yang diperoleh. Namun sejak tahun 2015, semua berubah,” ujar Wanto.

Diduga Ada Pengalihan Tanah Melawan Prosedur

Masalah mulai mencuat pada tahun 2015, ketika pemerintahan Desa Blender yang saat itu dijabat oleh Penjabat (PJ) Kuwu bernama Toni, diduga mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada pihak Pemerintah Daerah tanpa melalui prosedur yang sah.

Padahal, berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) Cirebon Tahun 2015, disebutkan secara tegas bahwa PJ Kuwu tidak memiliki kewenangan untuk mengalihkan atau mengambil keputusan atas kekayaan desa. Jabatan PJ hanya bersifat sementara dan tidak memiliki kedudukan yang setara dengan Kuwu definitif.

Namun faktanya, dari pengakuan masyarakat, tanah seluas kurang lebih 10 hektare itu kini telah terbit sertifikat hak pakai atas nama Pemerintah Daerah, dan seluruh tanah tersebut diklaim sebagai aset milik Desa Blender, padahal memiliki riwayat kepemilikan kolektif dari lima desa.

Lebih jauh, warga juga menuding bahwa saat proses pengalihan berlangsung terdapat unsur intimidasi dari oknum pejabat Pemda yang memaksa agar proses tersebut berjalan tanpa transparansi.

Pengelolaan Diduga Tidak Sesuai Fungsi

Selain persoalan status hukum tanah, kini muncul pula dugaan penyimpangan fungsi lahan oleh pihak Dinas Pertanian melalui UPTD Balai Benih. Tanah yang seharusnya dimanfaatkan untuk pengembangan benih dan penelitian pertanian, justru dikomersialisasikan dengan cara disewakan atau digarap warga menggunakan sistem bagi hasil yang dinilai tidak adil.

“Fungsinya sudah jauh dari tujuan awal. Ini bukan lagi lahan perbenihan, tapi sudah seperti lahan komersial. Sistem bagi hasil yang diterapkan pun seperti kerja romusa—tidak manusiawi,” ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya.

Hal ini memperkuat dugaan bahwa pengelolaan tanah tersebut cacat hukum sekaligus cacat administrasi, sebab berangkat dari dasar yang tidak sah dan berujung pada praktik yang merugikan masyarakat.

Pengakuan dari Kuwu dan Sikap LSM KOMPAK

Menanggapi isu tersebut, Kuwu Desa Kubangdeleg, Rukanda, ketika dikonfirmasi awak media, membenarkan bahwa tanah yang kini dikelola oleh Pemda melalui Dinas Pertanian itu awalnya merupakan tanah milik bersama lima desa. Ia juga menegaskan bahwa pada tahun 2015 tidak ada aturan yang memperbolehkan pengalihan aset desa oleh seorang PJ Kuwu.

“Benar, kami tahu tanah itu milik lima desa. Tapi saat itu tiba-tiba tanah sudah berganti status tanpa musyawarah desa, tanpa berita acara yang jelas,” ujar Rukanda.

Melihat kompleksitas persoalan ini, Aktivis LSM KOMPAK (Komunitas Masyarakat Pejuang Aspirasi Keadilan), Yosu Subardi, menyatakan akan melakukan langkah hukum dan advokasi terbuka.

“Langkah pertama kami adalah mempertanyakan riwayat tanah tersebut secara resmi kepada Pemda, BPN, dan pihak terkait. Kami juga akan meminta audiensi dengan Dinas Pertanian serta pemerintah kabupaten, untuk membuka semua dokumen riwayat tanah tersebut. Bila nanti ditemukan indikasi pelanggaran hukum, kami tidak segan membawa kasus ini ke ranah hukum,” tegas Yosu.

Ia menambahkan, tujuan utama LSM KOMPAK bukan untuk mencari sensasi, melainkan memperjuangkan hak masyarakat dan kejelasan status aset desa yang selama ini diduga telah dialihkan secara sepihak.

“Kami ingin tanah tersebut dikembalikan kepada lima desa pemilik awalnya, atau setidaknya dilakukan perbaikan dokumen hukum dari awal agar tidak ada pihak yang dirugikan,” ujarnya.

Saatnya Transparansi Ditegakkan

Kasus ini menjadi cerminan bahwa transparansi pengelolaan aset desa dan daerah masih menjadi masalah klasik di berbagai daerah. Praktik pengalihan aset tanpa prosedur yang benar berpotensi membuka celah korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan wewenang.

Dalam konteks hukum, jika benar pengalihan dilakukan oleh PJ Kuwu tanpa kewenangan yang sah, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi bahkan pidana penyalahgunaan jabatan. Sementara itu, apabila tanah tersebut masih tercatat sebagai aset desa, maka sertifikat hak pakai atas nama Pemda bisa dinyatakan cacat hukum dan batal demi hukum.

Diharapkan, dengan langkah yang diambil oleh LSM KOMPAK dan perhatian publik terhadap isu ini, Pemerintah Kabupaten Cirebon dapat membuka dokumen secara transparan dan memperbaiki kebijakan pengelolaan aset agar tidak menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat.


( Ade Falah )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *