Oleh: Duduh Wahyudin, S. IP
Sukabumi.swaradesaku.com.Tunjangan Fungsional Guru (TFG) Honorer di sekolah negeri dibawah kewenangan Kabupaten Sukabumi masih sangat minim, jauh dari standar Upah Minimum Kabupaten ( UMK )
Kebijakan yang belum bijak ini memperlihatkan ketidakberpihakan Pemerintah Kabupaten Sukabumi terhadap nasib Guru Honorer. Sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan Guru Honorer masih sebatas formalitas, tidak menyentuh pada substansi yang sebenarnya yaitu “asas kelayakan dan keadilan”
Jika mencermati dari kebijakan Walikota Bekasi yang memberikan gaji kepada Guru Honorernya sebesar 3,9 Juta per bulan dari APBD kota bekasi, tampak begitu kontras perbedaannya dengan kebijakan yang berlaku di kabupaten Sukabumi. Di kota Bekasi tidak ada lagi status Guru Honorer, mereka sudah diangkat langsung tanpa tes menjadi Guru Tenaga Kontrak (GTK) yang digaji dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar 3,9 juta per bulannya (sumber: Wartakota).
Apalagi kalau disandingkan dengan Tunjangan Kinerja yang diterima oleh para Pejabat Eselon Pemerintah Kabupaten Sukabumi seperti jarak antara bumi dan langit serta sangat fantastis besarannya, yang dananya bersumber dari APBD.
Penderitaan yang tak berujung dialami oleh Guru Honorer yang tidak pernah menjadi perhatian serius oleh Pemda Sukabumi, berdampak pada kelayakan hidup dan keadilan sosial yang tak kunjung usai.
Permasalahan itu perlu dicarikan formulasi solusi yang tepat agar Guru Honorer tidak terlantar atau termarjinalkan dengan kebijakan tersebut. Nilai kemanusiaan dan kesejahteraan yang semestinya diprioritaskan demi masa depan Guru Honorer yang lebih baik, sebanding dengan nilai Pengabdiannya untuk mencerdaskan generasi bangsa.
Jika kesejahteraan Guru Honorer lebih baik, maka akan memotivasi segi kualitasnya lebih baik pula. Sehingga profesionalitas Guru dan kompetensinya akan memberikan dampak positif kepada siswa sebagai peserta didik dalam proses kegiatan belajar mengajar. Jadi sehebat apapun kebijakan program pendidikan yang dicetuskan Pemerintah melalui Mendikbud RI Nadiem Makarim, serta Pemerintah Daerah, tanpa diikuti dengan peningkatan kesejahteraan Gurunya, maka akan sulit kebijakan tersebut mampu berbanding lurus untuk meningkatkan kompetensi anak didiknya.
Menurut hemat kami, sebagai solusi terakhir apabila Guru Honorer tidak diterima menjadi PNS/ASN atau jalur P3K, maka berikan mereka tunjangan UMK atau UMR supaya ada standar kelayakan, seperti umumnya yang berlaku di Perusahaan untuk menggaji karyawannya berdasarkan UMR/UMK
Dibutuhkan Political Will dan Political Action dari pemangku kebijakan, khususnya Bupati Sukabumi untuk piawai mengambil keputusan yang tepat dan konkret demi kesejahteraan Guru Honorer, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) dan (4), Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang- Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan peraturan turunannya, belum mampu menjawab tentang kedudukan status Guru Honorer. Maka saatnya DPR dan Pemerintah duduk bersama dan bersama sama juga libatkan Pemerintah Daerah untuk turut berkontribusi pemikiran dalam rangka mengevaluasi dan merevisi Undang – Undang dimaksud sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi yang tumbuh di masyarakat serta mengikuti dinamika perkembangan jaman.
Penulis adalah :
Lulusan STSIP Syamsul Ulum Sukabumi, 03 September 2007.
Saat ini aktif sebagai Guru PPKn di SMK Bina Bangsa Surade.
(Rusdi/Red)